Nama : Achda Fitriah
NIM : 11140163000007
Kelas : Fisika 2A
Nama Blog : PHYSICS ZONE
Inilah Emosi !
Emosi Itu..
Secara etimologis emosi berasal dari kata Prancis emotion, yang berasal lagi dari emouvoir, ‘exicte’ yang berdasarkan kata Latin emovere, artinya keluar. Dengan demikian secara etimologis emosi berati “bergerak keluar”.
Emosi adalah suatu konsep yang sangat majemuk sehingga tidak dapat satu pun definisi yang diterima secara universal. Emosi sebagai reaksi penilaian(positif atau negatif) yang kompleks dari sistem saraf seseorang terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam diri sendiri.[1]
2. Pendapat tokoh tentang pengertian emosi
Diungkap Prezz (1999) seorang EQ organizational consultant dan pengajar senior di Potchefstroom University, Afrika Selatan, secara tegas mengatakan emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi adalah hasil reaksi kognitif terhadap situasi spesifik.[2]
Hathersall (1985) merumuskan pengertian emosi sebagai suatu psikologis yang merupakan pengalaman subyektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Misalnya seorang remaja yang sedang marah memperlihatkan muka merah, wajah seram, dan postur tubuh menegang, bertingkah laku menendang atau menyerang, serta jantung berdenyut cepat.
Selanjutnya Keleinginna and Keleinginan (1981) berpendapat bahwa emosi seringkali berhubungan dengan tujuan tingkah laku. Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), misalnya pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah, takut bahagia, sedih dan jijik.
Sedangkan menurut William James (dalam DR. Nyayu Khodijah) mendefinisikan emosi sebagai keadaan budi rohani yang menampakkan dirinya dengan suatu perubahan yang jelas pada tubuh.[3]
3. Perasaan dan emosi
Perasaan dan emosi pada dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda tetapi tidak bisa dilepaskan. Perasaan selalu saja menyertai dan menjadi bagian dari emosi. Perasaan (feeling) merupakan pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh rangsangan dari eksternal maupun internal (keadaan jasmaniah) yang cenderung lebih bersifat wajar dan sederhana. Demikian pula, emosi sebagai keadaan yang terangsang dari organisme namun sifatnya lebih intens dan mendalam dari perasaan. Menurut Nana Syaodih Sukadinata (2005), perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, tersembunyi dan tertutup ibarat riak air atau hembusan angin sepoy-sepoy sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka, ibarat air yang bergolak atau angin topan, karena menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah yang bisa diamati. Contoh: orang merasa marah atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, dalam konteks ini, marah merupakan perasaan yang wajar, tetapi jika perasaan marahnya menjadi intens dalam bentuk angkara murka yang tidak terkendali maka perasaan marah tersebut telah beralih menjadi emosi. Orang merasa sedih karena ditinggal kekasihnya, tetapi jika kesedihannya diekspresikan secara berlebihan, misalnya dengan selalu diratapi dan bermuram durja, maka rasa sedih itu sebagai bentuk emosinya.
Perasaan dan emosi seseorang bersifat subyektif dan temporer yang muncul dari suatu kebiasaan yang diperoleh selama masa perkembangannya melalui pengalaman dari orang-orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi seseorang membentuk suatu garis kontinum yang bergerak dari ujung yang yang paling postif sampai dengan paling negatif, seperti: senang-tidak senang (pleasant-unpleasent), suka-tidak suka (like-dislike), tegang-lega (straining-relaxing), terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing).
Karena sifatnya yang dinamis, bisa dipelajari dan lebih mudah diamati, maka para ahli dan peneliti psikologi cenderung lebih tertarik untuk mengkaji tentang emosi daripada unsur-unsur perasaan. Daniel Goleman salah seorang ahli psikologi yang banyak menggeluti tentang emosi yang kemudian melahirkan konsep Kecerdasan Emosi, yang merujuk pada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain.
4. Unsur-unsur perasaan
Besifat subyektif daripada gejala mengenal
Bersangkut paut dengan gejala mengenal.
Perasaan dialami sebagai rasa senang atau tidak senang yang tingkatannya tidak sama.
Perasaan lebih erat hubungannya denga pribadi seseorang dan berhubungan pula dengan gejala-gejala jiwa yang lain. Oleh sebab itu tanggapan perasaan seseorang terhadap sesuatu tidak sama dengan tanggapan perasaan orang lain terhadap hal yang sama.
Karena adanya sifat subyektif pada perasaan inilah maka gejala perasaan tidak dapat disamakan dengan gejaja mengenal berfikir dan lain sebagainya.[4]
5. Macam-macam emosi
Menurut Syamsu Yusuf (2003) emosi individu dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu:
1. Emosi sensoris
Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar
2. Emosi psikis..
Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti : perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran perasaan sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok.
1) Perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral)
2) Perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian
3) Perasaan ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (Homo Divinas) dan makhluk beragama (Homo Religious).[5]
6. Teori-Teori Emosi
1. Teori James-Lange
Emosi yang dirasakan adalah persepsi tentang perubahan tubuh. Salah satu dari teori paling awal dalam emosi dengan ringkas dinyatakan oleh Psikolog Amerika William James: “Kita merasa sedih karena kita menangis, marah karena kita menyerang, takut mereka gemetar”.Teori ini dinyatakan di akhir abad ke-19 oleh James dan psikolog Eropa yaitu Carl Lange, yang membelokkan gagasan umum tentang emosi dari dalam ke luar. Di usulkan serangkaian kejadian disaat kita emosi : Kita menerima situasi yang akan menghasilkan emosi. Kita bereaksi ke situasi tersebut,Kita memperhatikan reaksi kita. Persepsi kita terhadap reaksi itu adalah dasar untuk emosi yang kita alami. Sehingga pengalaman emosi-emosi yang dirasakan terjadi setelah perubahan tubuh, perubahan tubuh (perubahan internal dalam sistem syaraf otomatis atau gerakan dari tubuh memunculkan pengalaman emosi. Agar teori ini berfungsi, harus ada suatu perbedaan antara perubahan internal dan eksternal tubuh untuk setiap emosi, dan individu harus dapat menerima mereka. Di samping ada bukti perbedaan pola respon tubuh dalam emosi tertentu, khususnya dalam emosi yang lebih halus dan kurang intens, persepsi kita terhadap perubahan internal tidak terlalu teliti.
2. Teori Cannon-Bard
Emosi yang dirasakan dan respon tubuh adalah kejadian yang berdiri sendiri-sendiri. Di tahun I920-an, teori lain tentang hubungan antara keadaan tubuh dan emosi yang dirasakan diajukan oleh Walter Cannon, berdasarkan pendekatan pada riset emosi yang dilakukan oleh Philip Bard. Teori Cannon-Bard menyatakan bahwa emosi yang dirasakan dan reaksi tubuh dalam emosi tidak tergantung satu sarna lain, keduanya dicetuskan secara bergantian. Menurut teori ini, kita pertama kali menerima emosi potensial yang dihasilkan dari dunia luar; kemudian daerah otak yang lebih rendah, seperti hipothalamus diaktifkan. Otak yang lebih rendah ini kemudian mengirim output dalam dua arah: (1) ke organ-organ tubuh dalam dan otot-otot eksternal untuk menghasilkan ekspresi emosi tubuh, (2) ke korteks cerebral, dimana pola buangan dari daerah otak lebih rendah diterima sebagai emosi yang dirasakan. Kebalikan dengan teori James-Lange, teori ini menyatakan bahwa reaksi tubuh dan emosi yang dirasakan berdiri sendiri-sendiri dalam arti reaksi tubuh tidak berdasarkan pada emosi yang dirasakan karena meskipun kita tahu bahwa hipothalamus dan daerah otak di bagian lebih bawah terlibat dalam ekspresi emosi, tetapi kita tetap masih tidak yakin apakah persepsi tentang kegiatan otak lebih bawah ini adalah dasar dari emosi yang dirasakan.
3. Teori Kognitif tentang Emosi
Teori ini memandang bahwa emosi merupakan interpretasi kognitif dari rangsangan emosional (baik dari luar atau dalam tubuh). Teori ini dikembangkan oleh Magda Arnold (1960), Albert Ellis (1962), dan Stanley Schachter dan Jerome Singer (1962). Berdasarkan teori ini, proses interpretasi kognitif dalam emosi terbagi dalam dua langkah: 1. Interpretasi stimuli dari lingkungan. Interpretasi pada stimulus, bukan stimulus itu sendiri, menyebabkan reaksi emosional. Contohnya, jika suatu hari kamu menerima kado dari Wini dimana Wini adalah musuh besarmu, maka kamu akan merasa takut atau bisa mengganggap bahwa kado tersebut berbahaya. Tetapi akan berbeda ceritanya bila Wini adalah seorang teman karibmu, maka kamu akan dengan senang hati menerima dan membuka kado tersebut tanpa curiga. Jadi dalam teori kognitifpada emosi, informasi dari stimulus berangkat pertama kali ke cerebral cortex, dimana akan diinterpretasi pada pengalaman masa kini dan lamapau. Lalu pesan tersebut dikirim ke limbyc system dan sistem saraf otonom yang kemudian akan menghasilkan arousl secara fisiologis. Interpretasi stimuli dari tubuh yang dihasilkan dari arousal saraf otonom Langkah kedua dalam teori kognitif pada emosi yaitu interpretasi stimulus dari dalam tubuh yang merupakan hasil dari arousal otonom. Teori kognitif menyerupai teori James-Lange teori menekankan pentingnya stimuli internal tubuh dalam mengalami emosi, tetapi sebenarnya itu berlanjut ke interpretasi kognitif dari stimuli, dimana hal tersebut lebih penting dari pada stimuli internal itu sendiri.
7. Kecerdasan emosi
Suatu terobosan teori tentang emosi dikemukakan oleh Daniel Goleman dalam bukunya The Emotional Intelligence. Golemen melanjutkan penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah berlangsung sejak 1970-1980-an termasuk yang dilakukan oleh Howard Gardener(tentang multiple intelegence), Peter Salovey, dan Jhon Mayer.
Dalam bukunya, Golemen menyatakan tiga hal yang sangat penting sehingga teorinya bisa dianggap sebagai terobosan. Yang pertama, emosi itu bukan bakat, melainkan bisa dibuat dilatih dan dikembangkan, dipertahankan dan yang kurang baik dikurangi atau dibuang sama sekali. Kedua, emosi itu bisa diukur seperti intelegensi. Hasil pengukurannya disebut EQ (emotional Quotient). Dengan demikian, kita tetap dapat memonitor kondisi kecerdasan emosi kita.Ketiga, dan ini yang terpenting, EQ memegang peranan lebih penting daripada IQ. Sudah terbukti banyak rang dengan IQ tinggi, yang di masa lalu dunia psikologi dianggap sebagai jaminan keberhasilan seseorang, justru mengalami kegagalan. Mereka kalah daarai orang-orang dengan IQ rata-rata saja, tetapi memiliki EQ yang tinggi. Menurut Goleman, sumbangan IQ dalam menentukan keberhasilan seseorang hana sekitar 20-30% saj, selebihnya ditentukan oleh EQ yang tinggi.
Adapun orang yang dikatakan mempunyai EQ yang tinggi adalah jika ia memenuhi kriteria berikut, yaitu sebagai berikut:
1. Mampu mengenali emosinya sendiri.
2. Mampu mengendalikan emosinya dengan situasi dan kondisi.
3. Mampu menggunakan emosinya untuk meningktakan motivasinya sendiri(bukan malah membuat diri putus asa atau bersikap negatif pada orang lain).
4. Mampu berinteraksi positif dengan orang lain.[6]
5. 8. Pengaruh Emosi pada belajar
Emosi berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas belajar (Meier dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006). Emosi yang positif dapat mempercepat proses belajar dan mencapai hasil belajar yang lebih baik, sebaliknya emosi yang negatif dapat memperlambat belajar atau bahkan menghentikannya sama sekali. Oleh karena itu, pembelajaran yang berhasil haruslah dimulai dengan menciptakan emosi positif pada diri pembelajar. Untuk menciptakan emosi positif pada diri siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan dengan penciptaan kegembiraan belajar. Menurut Meier, 2002 (dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006) kegembiraan belajar seringkali merupakan penentu utama kualitas dan kuantitas belajar yang dapat terjadi. Kegembiraan bukan berarti menciptakan suasana kelas yang ribut dan penuh hura-hura. Akan tetapi, kegembiraan berarti bangkitnya pemahaman dan nilai yang membahagiakan pada diri si pembelajar. Selain itu, dapat juga dilakukan pengembangan kecerdasan emosi pada siswa. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya secara sehat terutama dalam berhubungan dengan orang lain.[7]
9. Pertumbuhan emosi
Pertumbuhan dan perkembangan emosi seperti juga pada tingkah laku lainnya ditentukan oleh pematangan dan proses belajar seorang bayi yang baru lahir dapat menangis tetapi ia harus mencapai ringkas kematangan tertentu untuk dapat tertawa setelah anak itu sudah besar maka ia akan belajar bahwa menangis dan tertawa digunakan untuk maksud-maksud tertentu atau untuk situasi tertentu.
Makin besar anak itu makin besar pula kemampuannya untuk belajar sehingga perkembangan emosinya makin rumit. Perkembangan emosi melalui proses kematangan hanya terjadi sampai usia satu tahun. Setelah itu perkembangan selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh proses belajar.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Abu. Psikologi Umum. Rineka Cipta. Jakarta. 2003
Saleh Rahman Abdul dan Wahab Abdul Muhbib. Psikologi Suatu Pengantar (Dalam Prespektif Islam).Kencana. Jakarta.2009
Sarwono W Sarwito, Pengantar Psikologi Umum,PT.Raja Grafindo Persada:Jakarta,2010.
SUMBER INTERNET :
http://www.duniapsikologi.com/emosi/ 13/04/2013 23:00
http://s-idolaku.blogspot.com/2012/04/makalah-emosi.html
http://akhmadsudrajat.wordpress.com 14/042013 13.30
http://wandi.guru-indonesia.net/artikel_detail-22714.html 13/04/2013 23:20
[1] Sarlito W Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,PT.Raja Grafindo Persada:Jakarta,2010,
hlm 124-125.
[2] http://www.duniapsikologi.com/emosi/ 13/04/2013 23:00
[3] http://s-idolaku.blogspot.com/2012/04/makalah-emosi.html 13/04/2013 23:15
[4] Drs.H Abu Ahmadi. Psikologi Umum.Rineka Cipta. Jakarta. 2003. hlm 101
[5] akhmadsudrajat.wordpress.com 14/042013 13.30
[6] Sarlito W Sarwono. Ibid., hlm 136-137
[7] http://wandi.guru-indonesia.net/artikel_detail-22714.html 13/04/2013 23:20
[8] Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab. Psikologi Suatu Pengantar (Dalam Prespektif Islam).Kencana. Jakarta.2009 hlm 172-173
0 comments:
Post a Comment